Seiring berjalannya waktu, semakin jelas bahwa Anies Baswedan tidak menyetujui proyek ibukota baru atau apa yang sering disebut sebagai IKN. Anies menganggap kota baru yang diberi nama Nusantara tersebut tidak memiliki urgensi untuk dilanjutkan. Apalagi, Kalimantan sebagai pulau kini lebih membutuhkan program-program lain, seperti infrastruktur. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia seharusnya tidak memindahkan ibukota sebagai solusi dari banyaknya permasalahan di Jakarta. Jokowi sendiri memang menyiapkan IKN untuk menghadapi tantangan yang melanda ibukota Jakarta, seperti banjir bandang, populasi yang semakin padat, serta kemacetan.
Anies, yang memenangkan Pemilihan Gubernur DKI Jakarta lima tahun setelah Jokowi, memang diketahui telah getol mengkritik proyek raksasa tersebut. “Jakarta masih ada masalah lingkungan hidup, lalin, kepadatan penduduk, kalau ditinggalkan tidak akan buat selesai” ujarnya. Tak hanya itu, Anies juga sebut pembangunan IKN hanya akan menguntungkan para Aparatus Negeri Sipil atau ASN.
Tak hanya itu, Tom Lembong selaku konsultan Anies juga tercatat pernah mengkritik keras proses pendanaaan IKN. “Menurut kami data dan informasi mengenai IKN ini minim sekali yang terbuka ke publik, bahkan banyak investor bilang ke saya, mereka tanya ke pejabat bereapa margin keuntungan yang bisa saya dapat kalau saya investasi modal di IKN, katanya tidak ada yang bisa jawab” ujarnya mantan penasihat Presiden Jokowi tersebut.
Mengingat ketidaksetujuan ini, nampak jelas bahwa Anies memberikan kritik yang sama dengan apa yang sudah digaungkan oleh organisasi masyarakat sipil dalam beberapa tahun terakhir. Memang, tidak terlalu jelas tujuan pemerintahan Jokowi untuk membangun IKN. Apalagi, untuk proyek raksasa seperti ini, pemerintah dianggap tidak transparan dari awal perencanaan hingga dimulainya pembangunan. Undang-undang tentang IKN cenderung dikerjakan secara kebut-kebutan, merevisi beberapa hal kunci dalam sistem pemerintahan Indonesia. Tentu saja hal ini menjadi sorotan karena beberapa peraturan penting kini masih mangkrak di DPR dan tak kunjung disahkan setelah belasan tahun. Sedangkan peraturan tentang IKN diselesaikan hanya dalam jangka waktu kurang dari satu tahun.
Tak hanya itu, Anies juga menyorot bagaimana premis dari IKN ini memiliki permasalahan ganda. Pertama, situasi di DKI Jakarta tidak akan banyak berubah jika pemerintah pindah ke Kalimantan. Kemacetan serta polusi udara masih akan melanda, belum lagi ancaman banjir bandang yang menghantui warga ibukota tersebut. Namun, setelah pemindahan ibu kota, kini permasalahan tersebut akan jauh dari pandangan pemerintah pusat.
Selain itu, seperti apa yang diucapkan Anies, Kalimantan kini lebih membutuhkan banyak hal dibandingkan pembangunan kota raksasa. Pemerataan pembangunan dan menghilangkan unsur jawasentris dari ekonomi Indonesia tidak bisa dilakukan dengan emlakukan proyek besar-besaran di tengah hutan Kalimantan. Apalagi, kerusakan lingkungan dan dampak pembangunan IKN terhadap masyarakat adat juga telah lama menjadi sorotan oleh koalisi masyarakat sipil.
Solusi dari Anies Baswedan untuk membangun 40 kota di seluruh Indonesia alih-alih berfokus pada ibukota baru di Kalimantan memang memiliki pro dan kontra-nya sendiri. Namun, Capres nomor urut 01 tersebut telah tepat dalam diagnosanya bahwa IKN cenderung merupakan proyek yang terburu-buru, tidak jelas tujuannya, dan membebani anggaran negara.