Bahaya ‘Politik Gentong Babi’ di Tahun Pemilu

Tindakan Zulkifli Hasan yang mengaitkan bantuan sosial dengan salah satu kandidat presiden Indonesia telah mengundang kritik dan ketidaksetujuan. Tentu saja, nampaknya memang tidak etis menghubungkan program yang dibiayai dari rakyat untuk rakyat menjadi ‘bantuan’ dari pihak-pihak tertentu. Apalagi, para penerima bansos didorong untuk memilih pasangan calon yang disebut-sebut akan ‘melanjutkan’ pemberian bantuan tersebut. Sembako dan uang tunai yang dibagikan kemudian menjadi identik dengan kandidat-kandidat pemilu tertentu.


Selain tidak etis, ternyata praktik-praktik seperti ini juga berbahaya bagi kondisi demokrasi yang sehat. Hal ini disebabkan apa yang disebut sebagai perilaku ‘politik gentong babi’. Apa itu politik gentong babi, terutama dalam konteks politik pemilu?

Apa itu Politik Gentong Babi?

Karikatur Politik Gentong Babi. Source: The Independent (1849)

Politik gentong babi adalah upaya untuk mengaitkan pembagian sumber daya–makanan, uang, sembako–dengan imbalan politik. Dalam hal ini, imbalan yang dimaksud adalah pilihan dalam bilik suara. Istilah ini berasal dari masa-masa ketika Amerika Serikat masih melegalkan perbudakan. Apa hubungan politik elektoral dengan perbudakan? Ternyata, dahulu para pemilik budak sering menyiapkan gentong babi dalam jatah makanan budak, dan siapapun yang pekerja keras bisa memakan daging yang nikmat. Iming-iming bansos, uang, atau sembako disimbolkan sebagai gentong babi, dan pilihan terhadap kandidat tertentu digambarkan sebagai kerja keras.

Hal ini tentu berbahaya bagi demokrasi. Sebab, pilihan rakyat yang seharusnya ‘dibeli’ dengan rencana konkrit dan inovasi kebijakan, malah ditukar langsung dengan sumber daya. Kita mengenalnya sebagai ‘politik uang’ dan praktik ini mencederai nilai-nilai demokrasi akibat ujung-ujungnya, ini berarti mereka yang menginginkan banyak suara dari rakyat cukup menghabiskan anggaran serius untuk bagi-bagi bantuan, atau bansos. Akibatnya, mereka yang berpeluang besar untuk terpilih bukan yang memiliki ide terbagus atau rencana paling komprehensif, melainkan mereka yang memiliki dana terbesar.

Poster politik uang. Source: ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

Dalam konteks apa yang dilakukan oleh Zulkifli Hasan, pembagian sumber daya untuk meminta imbalan suara menjadi semakin berbahaya. Masalahnya, Hasan adalah bagian dari pemerintah petahana yang memiliki anggaran besar dengan sumber daya yang mumpuni. Sumber daya dan anggaran ini dapat digunakan untuk program-program yang sepertinya dilakukan untuk kepentingan masyarakat luas. Namun secara diam-diam juga dapat menjadi tempat untuk menggalang suara dari para penerima bantuan. Jubir Tim Pemenangan Ganjar-Mahfud, Cyril Raoul, dalam artikel yang sama juga mengungkapkan kecurigaannya bahwa bansos dapat menjadi alat bagi para pemimpin politik petahana untuk mengarahkan masyarakat agar mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu.

Apalagi, masyarakat kemudian memahami perilaku dari kandidat pemilu dan tim kampanye mereka. Akhirnya, alih-alih menganggap pemilu sebagai wahana untuk menyalurkan aspirasi dengan memilih perwakilan yang akan membawa kepentingan mereka ke parlemen, warga akhirnya menganggap bahwa pemilu adalah sarana untuk membagi-bagikan sumber daya. Baik itu kaos, sembako, bantuan langsung tunai, ataupun bansos yang sering dibagikan berkenaan saat pemilu, akhirnya dimaknai sebagai bagian dari pemilu. Jika praktik ini dilanggengkan, tentu saja masyarakat hanya akan menunggu pembagian bantuan saat tahun politik, dan seringkali mengambil keputusan mereka dari siapa yang membagikan bantuan tersebut.

Exit mobile version