Usaha Lawan Kritik Kampus Cederai Kebebasan Akademik

Kampus adalah tempat terakhir yang masih menjanjikan kebebasan akademik dan kemampuan untuk kritis terhadap pemerintah. Bahkan dalam masa-masa terburuk demokrasi Indonesia, kita masih bisa melihat beberapa kampus secara serius mengkritik pemerintahan yang ada. Namun, kita bisa mengukur kadar demokrasi Indonesia dengan tingkat kebebasan akademik yang dimiliki oleh para cendekiawan dan universitas-universitas untuk secara bebas beropini.

Ancaman terhadap kebebasan akademik di akhir era Jokowi. Source: Biro Sekretariat Kepresidenan

Oleh karena itu, permintaan dari pihak kepolisian kepada Rektor Unika Soegijapranata untuk membuat video yang menangkis kritik kampus-kampus terhadap Jokowi agaknya tidak perlu dan berbahaya. Tindakan ini tidak perlu, karena masyarakat pasti akan memahami bahwa video-video dari kampus yang memuji Jokowi ini datang setelah rangkaian kritik akademik yang dilancarkan ke Presiden Indonesia tersebut. Sedangkan tindakan ini berbahaya terhadap kebebasan akademik Indonesia akibat terdapat indikasi menganggap kritik terhadap petahana sebagai sesuatu yang harus di-‘lawan’ oleh pemerintah.

Apalagi, Mahfud MD kemudian mengatakan bahwa munculnya rekaman para rektor yang menyebutkan kebaikan-kebaikan kebijakan Jokowi selama lima tahun terakhir merupakan hasil dari ‘tekanan’ pihak tertentu. Jika tuduhan ini benar, maka pemerintahan Jokowi sedang melakukan langkah yang tidak sehat untuk memengaruhi pihak-pihak kampus agar melunakkan lancaran kritik mereka kepada dia. Dengan kata lain, Jokowi sedang melakukan tindakan yang dapat menggerus kebebasan akademik di Indonesia.

Lebih lanjut, ‘narasi kontra’ ini berbahaya sebab para kampus mengkritik sikap politik Jokowi pada beberapa saat terakhir yang dinilai mendukung paslon tertentu. Termasuk diantaranya adalah meloloskan anaknya sebagai Cawapres dan dicurigai melakukan sejumlah manuver yang menguntungkan kampanye Prabowo, seperti politisasi bansos.

Di tengah kritik agar Jokowi tidak berpihak dalam pemilu dan tidak mempolitisasi program, ‘narasi kontra’ justru muncul dengan cara mengajak pemilui damai dan mengapresiasi pemerintah yang dianggap telah mampu mengatasi krisis. Tentu narasi ini tidak terlalu berkaitan dengan saran para akademisi pada Jokowi dan lebih dapat dibaca sebagai ‘damage control‘ dari pihak pemerintahan.

Tentu saja, unsur paling berbahaya dalam narasi ini adalah dugaan keterlibatan pihak kepolisian untuk mendorong pihak kampus agar merilis video yang membaik-baikkan pemerintah. Arahan dari aparat pemerintahan kepada sektor akademik adalah tanda pertama dari turunnya kebebasan akademik, apapun bentuk dan sifatnya. Apalagi, kritik dari kampus mengarah kepada sikap-sikap Jokowi seputar pemilihan presiden 2024. Jika ditarik lebih lanjut, sikap beberapa pihak kepolisian ini dapat mencederai netralitas aparat yang harus dijaga ketat.

Presiden Jokowi tidak boleh meninggalkan kedudukannya di istana dengan catatan buruk dalam kebebasan akademik Indonesia. Ia selalu mempromosikan diri sebagai pihak yang selalu mau dikritik dan selalu mengikuti saran dari akademia. Alangkah tidak perlunya langkah-langkah seperti ini dilakukan di akhir pemerintahannya yang sudah banyak mencederai nilai-nilai lain soal demokrasi, masyarakat sipil, dan etika politik.

Exit mobile version