Pakar Kecewa Krisis Iklim Tak Jadi Isu Utama Debat

Para koalisi masyarakat sipil maupun pakar meminta cawapres untuk menyeriusi isu iklim. Meskipun perubahan iklim tidak secara spesifik menjadi topik perdebatan, namun tentu saja fenomena ini masuk ke dalam isu lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan, yang menjadi topik dalam perdebatan.

Krisis iklim memang sudah menjadi fenomena yang sangat mendesak untuk diselesaiakan oleh masyarakat internasional, termasuk di antaranya Indonesia. Perubahan cuaca ekstrim, pemanasan global, maupun anomali iklim telah berdampak buruk secara langsung ke masyarakat Indonesia. Satrio Manggala selaku salah satu manajer di Walhi mendesak para capres-cawapres untuk secara serius menyorot isu-isu ini di dalam debat. Ia mengatakan bahwa ketidakadilan iklim yang terjadi di Indonesia memberikan dampak serius bagi masyarakat-masyarakat di banyak daerah, utamanya mereka yang masih menggantungkan diri kepada sumber daya alam, seperti nelayan dan petani. Selain itu, Satrio juga menyorot pembabatan hutan yang disebabkan oleh konsesi tambang, terutama tambang nikel, dalam beberapa tahun kemarin.

Pakar menyorot krisis iklim. Source: ABC News

Satrio juga menyayangkan mengapa krisis iklim tidak termasuk dalam pembahasan utama dalam debat cawapres mendatang. Ia mengatakan bahwa pembahasan soal pembangunan berkelanjutan, jika tidak berhati-hati, akan melanjutkan kerusakan lingkungan yang terjadi selama beberapa tahun. “Perlu khususnya evaluasi atas mekanisme pembangunan berkelanjutan itu sendiri. Pertanyaannya adalah kita mau lanjut kemana pembangunan itu? Kalau pembangunan lanjut ke arah yang sama maka akan semakin membara krisis iklim” jelasnya. Memang, jor-joran pembangunan yang dilakukan di Indonesia selama masa kepemimpinan Joko Widodo sering mendapatkan kritik dari pemerhati lingkugnan maupun koalisi masyarakat sipil akibat dampaknya yang buruk terhadap lingkungan.

Selain itu, Decmonth Pasaribu selaku peneliti dari Extinction Rebellion mengatakan bahwa krisis iklim sepatutnya menjadi bagian dari materi debat cawapres. “Kaum muda sebagai pemilih terbanyak harus memprioritaskan isu ini dalam Pemilu 2024” ujarnya. Ia juga merujuk pada laporan dari Bank Dunia pada tahun 2021. Laporan tersebut menyatakan bahwa Indonesia memiliki kerentanan iklim urutan ketiga dari negara-negara di seluruh dunia. Ia juga menyayangkan tidak adanya roadmap yang jelas dari para capres-cawapres tentang penyelesaian akar persoanal dari krisis iklim.

Ilustrasi Extinction Rebellion melawan krisis iklim. Source: John Englart dari Fawkner, Australia

Selain itu, Komaidi Notonegoro dari Reforminer Institute juga menjelaskan pentingnya para cawapres untuk mengetahui dan memenuhi target net zero emission yang seharusnya dicapai pada tahun 2060. Ia menjelaskan bahwa terdapat potensi energi terbarukan dari panas bumi atau geothermal. Namun, sekali lagi, pembangkit geothermal seringkali menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat akibat gangguan serius bagi warga sekitar pembangkit listrik. Sekali lagi ini membuktikan bahwa cawapres harus memahami isu lingkungan dan iklim secara serius akibat kompleksitas masalah yang dihadapi masyarakat.

Para cawapres diharapkan secara serius menangani isu iklim ini, baik selama debat maupun pada saat implementasi jika emreka terpilih dalam pemilu mendatang. Dinamika dalam kebijakan iklim dunia seperti carbon tax, zero net emission, pengalihan energi menjuju energi terbarujkan, maupun fokus terhadap reforestasi menjadi sangat penting bagi Indonesia. Bagaimanapun juga, Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang memiliki flora dan fauna yang kaya, belum lagi hutan hujan yang sangat tebal yang berfungsi sebagai bagian dari paru-paru dunia.

Exit mobile version