Mengingat Kembali Bahaya Politik Dinasti

Komentar Jokowi soal presiden yang boleh memihak dalam pemilu memang mengundang polemik, namun ini bukan pertama kalinya aksi politiknya menimbulkan tanda tanya. Bahkan sebelum pemilihan presiden dimulai, ia telah mengundang kritik akibat sanak saudaranya yang kini menempati berbagai posisi politik di daerah.

Jokowi

Tak lama setelah ia terpilih kembali menjadi presiden, kita mengenal anggota keluarganya sebagai pebisnis atau pelajar. Gibran Rakabuming Raka merintis bisnis martabak kekinian bernama Markobar, Kahiyang Ayu sibuk di berbagai bisnis setelah sibuk menyelesaikan pendidikan Magister-nya. Sedangkan Kaesang Pangarep dikenal sebagai seseorang yang aktif di media sosial sekaligus merintis usaha pisang goreng manis bernama Sang Pisang.

Lima tahun kemudian, Kaesang Pangarep menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, sekaligus digadang-gadang menjadi calon Walikota Depok. Kahiyang Ayu kini menjadi istri dari Bobby Nasution, yang terpilih sebagai Walikota Medan. Tak hanya itu, ia juga mempromosikan kakaknya, Gibran Rakabuming, yang kini menjadi partner Prabowo sebagai Calon Wakil Presiden.

Sebelum menjadi Cawapres, Gibran masuk dalam keanggotaan PDIP dan menjabat sebagai Walikota Solo. Pada saat pemilihan Walikota Solo berlangsung, yang pemenangnya sudah hampir pasti dari awal, sudah muncul pertanyaan: apakah Jokowi ingin mendirikan politik dinasti? Sebab Gibran tak dikenal sebagai pemerhati politik atau kebijakan publik. Studinya fokus di pemasaran, dan memang hal itu menjadi karirnya sebelum menjadi Walikota Solo. Pada saat itu pun muncul pertanyaan, mengapa tiba-tiba anak sulung Jokowi terjun ke dunia politik.

Pertanyaan semakin mengeras ketika Kaesang, yang dikenal sibuk berbisnis di bidang makanan dan minuman, ikut mencicipi dunia politik praktis. Ia tiba-tiba menggantikan Giring Nidji sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia, dan langsung diusung sebagai bakal calon walikota Depok.

Kaesang dipromosikan jadi Walikota Depok. Source: Media Indonesia

Pasalnya, status mereka sebagai bagian dari keluarga Jokowi terbukti sangat efektif dalam pemilihan umum. Bahkan tanpa dukungan yang eksplisit sekalipun, Gibran maupun Bobby lolos dari Pilwalkot dengan relatif mudah. Paling tidak dalam kasus Gibran, masyarakat Solo mengenalnya sebagai anak Jokowi, yang dahulu juga pernah menjadi pemimpin di kota itu. Gibran Rakabuming Raka menang 86,5% dari seluruh suara yang ada.

Jokowi dan jajaran pendukungnya berdalih bahwa anak-anaknya memiliki hak politik yang sama dengan masyarakat lain. Memang benar, tetapi begitu pula dengan banyaknya politik dinasti daerah di Indonesia. Agaknya ia tak tahu atau tak mau tahu bahaya asli dari praktik politik berkeluarga tersebut: rawannya penyalahgunaan kekuasaan dan menurunnya kualitas pemilu di Indonesia. Meskipun anak-anaknya bisa jadi memiliki gagasan menarik soal tata kota dan kesejahteraan sosial, namun nyatanya masyarakat mengenal mereka dari relasi ke Presiden Indonesia tersebut.

Kekhawatiran penyalahgunaan kekuasaan menjadi kenyataan saat Gibran, Walikota Solo, tiba-tiba mampu menjadi calon Wakil Presiden. Konstitusi diubah sedemikian sehingga agar ia, yang belum mencapai umur 40 tahun, mampu mencalonkan diri. Agaknya bukan sekadar kebetulan bagaimana Ketua Mahkamah Konstitusi saat itu, Anwar Usman, merupakan ipar dari Presiden Jokowi. Usman kemudian dipecat dari jabatannya akibat melanggar Kode Etik MK, namun Gibran telah terlanjur mampu mendampingi Prabowo di podium pasangan calon.

Kita sudah melihat dampak politik dinasti di berbagai tempat, dan bagaimana pada akhirnya nepotisme akan mendahului meritokrasi yang berdampak pada penurunan kualitas pelayanan publik. Bahkan ketika anggota dfinasti memiliki performa baik pun, prinsip-prinsip demokratis hampir pasti telah dilanggar dengan membolehkan sanak saudara, anak, ataupun istri untuk sama-sama menduduki posisi pemerintahan. Di tengah langkah-langkah politik mengkhawatirkan yang dilakukan oleh Jokowi, ada baiknya kita melihat ke belakang dan belajar dari kasus politik dinasti yang telah merusak banyak daerah di Indonesia.

Exit mobile version